Aksara dan Bait Stanza
just write to heal the wound and share happiness
Kamis, 30 November 2017
Gurindam
Selasa, 14 November 2017
Disappear
Rabu, 01 November 2017
Ciuman Pertama
Laras sedang membenahi riasannya saat seseorang mengetuk pintu kamarnya dari luar.
"Sudah siap kan?" Suara kakaknya meninggi beberapa oktaf agar dapat terdengar dari dalam.
"Sebentar lagiii...!" Sahutnya kemudian.
Ia memandang bayangan dirinya sekali lagi di cermin. Lebih cantik daripada biasanya. Meski beberapa garis kerutan tak dapat disembunyikan oleh riasan yang menutupi kulitnya. Mbak Endah, perias yang mendandaninya tersenyum saat melihat Laras menatap lurus bayangannya tanpa berkedip.
"Kamu tegang?"
Laras hanya mengangguk.
****
Ini adalah hari pernikahannya, empat tahun yang lalu. Ya, sudah empat tahun berlalu sejak saat itu. Sejak dirinya sah dinyatakan sebagai istri seorang Pramono. Empat tahun yang berlalu begitu lambat baginya.
Pram bukanlah seseorang yang asing baginya. Ia adalah kakak kelas Laras semasa SMP. Mereka pun bertetangga. Keluarga keduanya saling mengenal baik satu sama lain. Tapi sebenarnya, mereka tidak pernah dekat sebagai sepasang kekasih. Bahkan sampai hari ini.
Laras menyandarkan kepalanya yang terasa berat. Ia menerawang kembali saat-saat orangtuanya memberikan tawaran padanya untuk menikah dengan Pram.
"Keluarga Pramono ingin melamarmu sebagai menantunya, Nak".
Laras sangat terkejut. Ia hampir tidak percaya.
"Bapak bercanda?"
"Tidak. Ini sungguhan."
Laras tidak yakin ini sungguhan. Ia sudah tigapuluhtiga tahun dan tidak ada seorang pun yang tertarik padanya. Ia terlalu pendiam untuk didekati, wajahnya pun biasa-biasa saja. Gadis lain rata-rata menikah di usia duapuluhan. Dan ia masih sendiri. Maka hal yang dikatakan bapaknya barusan terdengar konyol. Dan Pramono? Dia terlalu sempurna.
"Assalamu'alaikum."
Laras tersadar dari lamunannya.
"Waalaikumsalam." Ia beranjak dari tempat duduknya dan berjalan ke arah pintu lalu membuka kuncinya. Pram masuk tanpa mengatakan apa-apa dan langsung menuju ke kamar. Begitu yang terjadi setiap hari. Laras tidak pernah menyalahkan keadaan. Terkadang ia hanya menyesali mengapa dulu dia tak cukup berani menolak tawaran itu. Tawaran menjadi istri Pramono. Ia sangat sadar tidak mungkin Pram menikahinya karena cinta.
Pramono sudah memiliki kekasih kala itu. Tapi mereka berpisah karena kekasihnya memilih pria lain yang lebih dahulu melamarnya. Pramono memang belum segera meminang kekasihnya karena ingin menyelesaikan studi S2nya terlebih dahulu. Dia tak menyangka bahwa kekasihnya akan meninggalkannya dengan cara seperti itu.
Maka ketika orangtuanya memberikan tawaran untuk menikahi Laras, Pram mengiyakan sekenanya saja.
"Bapak lamarkan Laras untukmu, kamu mau?"
"Terserah Bapak saja."
Dan pernikahan itu pun terjadi. Tanpa cinta.
Laras menyeduh kopi hitam kesukaan Pramono. Ia meletakkannya di samping suaminya berbaring.
"Kopi, Mas."
"Hmm."
Laras membalikkan badan. Ia teringat telepon ibunya tadi pagi.
"Kapan kami menimang cucu, Laras? Kamu menikah sudah empat tahun."
Laras hanya terdiam. Ya, sudah empat tahun. Sudah empat tahun ia mendampingi Pramono. Mendampinginya dengan segala sikap dingin Pram padanya.
Laras menyadari ia tidak cantik. Ia juga tidak pandai mengambil hati. Ia mengerjakan pekerjaan rumah dan melayani keperluan Pramono sebatas sebagai tugas harian seorang istri. Ada kalanya ia juga merindukan kehangatan dalam berumah tangga. Ada kalanya ia ingin disapa penuh manja. Tapi itu tidak pernah terjadi. Maka ketika empat tahun sudah dirasanya begitu menyiksa, ia berfikir untuk mengakhirinya.
Laras duduk di sisi tempat tidur yang lain. Ia menggigit bibir, gelisah. Bingung memilih kalimat yang tepat untuk memulai pembicaraan.
"Mas Pram, aku ingin bicara."
"Ada apa? Kamu rindu ibumu? Mau diantar pulang kesana?"
Laras menggeleng. Biasanya saat merasa galau, memang hanya pulang ke orangtuanya lah hiburan baginya.
"Lalu? Ada apa?" Pramono mengeluarkan laptop dari dalam tas kerjanya dan mulai mengetik. Pandangan matanya tak lepas dari layar laptop. Pandangan mata yang tak pernah menyadari ada luka di hati istrinya.
"Aku ingin bercerai, Mas. Aku sudah tidak bisa mendampingimu yang seperti robot. Aku tahu kau tidak mencintaiku."
Pramono menoleh. Ia menatap wajah istrinya. Menatapnya lebih lama. Ia melihat istrinya menitikkan airmata. Pram tidak pernah menyadari hal itu. Selama ini ia melihat istrinya baik-baik saja. Tak pernah mengeluh, tak pernah marah. Ia menepis perasaan bersalah yang tiba-tiba muncul. Salah sendiri menerima perjodohan ini.
"Besok aku antar kau ke rumah ibumu. Kamu hanya kelelahan."
Laras berdiri. Mengusap airmatanya dan melanjutkan kalimatnya.
"Tidak perlu. Aku bisa pulang sendiri. Tapi tolong ceraikan aku. Aku tidak sanggup lagi menjadi patung disini. Aku juga tidak sanggup lagi serumah dengan robot sepertimu."
Laras memberesi beberapa helai pakaian dalam kopernya. Ia menatap foto pernikahannya yang terpajang di dinding kamar. Tidak ada senyum bahagia di sana. Laras merasa sangat bodoh. Ia memang perawan tua saat dinikahi Pramono. Tapi tidak sepantasnya ia diperlakukan seperti ini. Laras merasa ada yang terasa nyeri, di sudut hatinya.
"Kenapa Pram tidak mengantarmu? Tumben."
"Dia sibuk."
Laras tahu ibunya keheranan. Di depan ibunya Pramono memang baik. Ibunya tak pernah tahu bagaimana dinginnya sikap Pramono padanya.
Pram terbangun saat matanya terasa silau karena sinar matahari yang masuk lewt celah jendela kamarnya. Mata mengerjap. Ia terkejut saat melihat jam menunjukkan pukul tujuh. Gawat. Ia terlambat masuk kantor. Biasanya Laras yang membangunkannya dengan menepuk bahunya lembut. Ia lalu beranjak dan bersiap ke kantor dengan terburu-buru. Tak ada sarapan, tak ada yang menyiapkan pakaian.
"Pagi, Pak Pram. Tumben datang kesiangan."
Pramono hanya tersenyum. Ia memang selalu datang tepat waktu. Baru kali ini ia terlambat.
Lima hari sudah. Laras pulang ke rumah orangtuanya sejak malam ia mengatakan ingin diceraikan. Sejak itu Pram belum mengambil keputusan apa-apa. Setelah seminggu ia akan menjemput Laras. Setelah itu mungkin semua akan kembali seperti semula, pikirnya.
Pramono menghempaskan tas kerjanya dan membaringkan tubuhnya di atas kursi. Biasanya ada secangkir kopi hitam buatan Laras yang tersaji di sampingnya. Tiba-tiba ia rindu aroma itu. Aroma kopi yang mengepul. Ia berjalan menuju dapur. Menyeduh kopi dan meminumnya perlahan. Kenapa rasanya tidak enak? Ia menambahkan gula dan meminumnya kembali. Tetap tidak enak. Tidak seperti buatan Laras. Ia kemudian menyadari betapa tidak enaknya saat Laras tak ada. Ia kerepotan setiap hari. Sebelumnya jika pulang ke rumah orangtuanya, Laras hanya menginap semalam saja. Ia memejamkan mata. Laras istri yang baik. Semua keperluannya disiapkan tanpa perlu diarahkan. Semua yang dikerjakannya sesuai dengan yang ia inginkan.
Pramono mengetuk pintu rumah mertuanya. Wajah sederhana muncul dari balik pintu. Wajah teduh yang biasa menyambutnya saat pulang kerja setiap hari. Entah mengapa ia baru menyadari bahwa sebenarnya istrinya itu begitu cantik. Laras menyalami dan mencium tangan Pram, seperti yang biasa ia lakukan. Namun ada yang terasa berbeda. Mereka berdua merasa kikuk.
"Eh, Nak Pram." Pramono mencium tangan mertuanya dan mengutarakan niatnya untuk menjemput pulang Laras.
"Kalian baik-baik saja kan? Ibu khawatir, tidak biasanya Laras menginap lama di sini. Dia cuma bilang kamu dinas keluar kota."
Pramono lega. Itu artinya Laras tidak bercerita pada orangtuanya tentang keinginannya bercerai.
"Iya, Bu. Kami baik-baik saja. Laras saya ajak pulang sekarang ya?"
Mereka berpamitan setelah Laras mengambil barang bawaannya. Pram merangkul pundaknya dan menggiring Laras menuju ke mobil.
"Maafin aku, Laras. Aku bodoh membiarkanmu terluka sendirian. Aku membiarkanmu menjalani hari-hari sendiri meski aku ada disampingmu. Aku tidak menyadari bahwa kau begitu perhatian padaku. Begitu menyayangiku."
Laras memandang mata suaminya dalam. Mata yang selalu ingin ditatapnya.
"Aku baru sadar ternyata aku membutuhkanmu. Bukan sekedar mengurus keperluanku. Aku membutuhkanmu untuk mengisi kekosongan disini." Pramono menunjuk dadanya.
Mata Laras berkaca-kaca. Benarkah yang dikatakan suaminya? Ia tidak menjawab apa-apa. Ia hanya pasrah saat Pram meraih tubuhnya dengan mesra, dan mengecupnya dengan lembut, penuh cinta, untuk pertamakalinya.
Selasa, 31 Oktober 2017
Tentang Memaafkan
Minggu, 29 Oktober 2017
Sekar Pembayun
Sebuah kisah antara asmara dan amarah
Berakhir pertumpahan darah
Karena kekuasaan dan ambisi yang mengerah
Hingga seorang putri berkorban tanpa keluh kesah
Ki Ageng Mangir pembelot bagi Panembahan Senopati
Enggan tunduk di bawah pimpinan Mataram pertiwi
Tanah agung yang dihuni
Tetap dalam genggaman tak mau dikuasai
Senopati menyusun rencana apik
Agar Mangir tunduk dan tertarik
Menggoda keteguhan pembangkang tengik
Dengan rupa ayu dan senandung merdu Si Cantik
Pembayun menyerahkan sepenuh dirinya
Untuk Mangir yang memuja
Menikahlah mereka berdua
Membangun mahligai rumah tangga
Tibalah waktu yang ditunggu
Menghadiri acara unduh mantu
Mangir menghadap bersama pembuluh rindu
Bertemu mertua mengharap restu
Maka rencana Senopati terlaksana
Sang pembangkang telah hadir tanpa pusaka
Membuatnya begitu leluasa
Melancarkan amarah yang meraja
Maut dijemput saat badan menunduk lesu
Ajian telah dilucuti tanpa ragu
Mautpun merenggut nyawa Mangir dengan kelu
Nyawa melayang pada benturan batu
Rabu, 25 Oktober 2017
I Told You
Sudah kukatakan padamu
kala itu
saat getir menyelinap pada bait kata kita
bahwa adakalanya tangan yang tak lagi bergandengan
akan membuat bahagia mengangkasa
Kau pura-pura baik-baik saja
padahal aku tahu
gemuruh di hatimu sama riuhnya denganku
Sudah kukatakan padamu
kala itu
bahwa pelangi datang beriringan
setelah hujan bertandang tanpa pesan
Usah kau bantah lagi
Karena akan selalu kukatakan padamu
berulang waktu
Aku mencinta walau tak lagi mendamba
26 Oktober 2017
Senin, 23 Oktober 2017
Kuizinkan
Kuizinkan kau pamit dari lamunanku
agar senyap merebak dan hati mengerti arti sepi
Candamu tak kan ada lagi
bahkan sekadar sapa
Tak akan kuminta
Berlalulah dari hadapanku
Tak mengapa
untuk apa hadirmu jika hanya mengeja luka
Telah kuizinkan perih itu berlari
Menemukan tempatnya sendiri
Ruang kelas, 24 Oktober 2017
Gurindam
kalau kau hendak selamat bekali diri dengan salihat jika dirimu sedang seteru ingat lidah setajam sembilu andai amarah mu...
-
kalau kau hendak selamat bekali diri dengan salihat jika dirimu sedang seteru ingat lidah setajam sembilu andai amarah mu...
-
Sinta menuju kasir dengan senang. Ia tak perlu mengeluarkan uang untuk mendapat dompet cantik yang diidamkannya sejak berminggu-minggu yang ...
-
Dalam pekat galau menyelinap Menyulut gelisah yang enggan enyah Binarku usang dalam gelap Meredupkan gelora yang sempat membuncah