Kamis, 30 November 2017

Gurindam


kalau kau hendak selamat 
bekali diri dengan salihat

jika dirimu sedang seteru
ingat lidah setajam sembilu

andai amarah mulai bersarang
tahan agar tampar tak melayang 

bila engkau merindu sahabat
genggam hati teman dengan erat

barangsiapa menebar cinta
ia akan menuai bahagia


Selasa, 14 November 2017

Disappear


Aku menghela nafas panjang. Ini kali kesekian Mas Hans, suamiku, membuatku kehabisan kata saat harus menjaawab pertanyaan ibu.
“Jam segini belum pulang? Mampir kemana dia? Istri belum lama melahirkan kok sikapnya kayak gitu.” Ibu mengomel panjang lebar. Aku hanya terdiam, tak tahu mesti berkata apa. Semakin aku membela suamiku, akan semakin panjang rentetan omelan ibu.
Bukannya aku tidak tahu mengapa suamiku bersikap seperti ini. Bukannya aku tidak tahu kemana saja dirinya sebelum pulang ke sini. Aku tahu dia di mana. Sepulang kerja, ia selalu memilih untuk mampir ke rumah orang tuanya dulu, menghabiskan waktu berjam-jam di sana, dan baru pulang saat malam menjelang.
“Mau sampai kapan dia kayak anak kecil gitu? Sukanya kok ngempeng sama ibunya dulu. Memangnya dia lupa kalau sudah punya anak istri?” Kepalaku semakin pening. Rasa sakit pasca melahirkan masih kurasakan. Jam tidur yang kacau di malam hari dan segala adaptasi sebagai ibu baru membuat masalah yang kuhadapi semakin terasa runyam.
 “Karin, apa tidak ada hal lain yang bisa kamu lakukan kecuali diam?” Ibu masih menyerangku, menyudutkanku pada sisi di mana aku tak bisa berkelit. Aku tahu, ia selalu berusaha membuatku menyesal. Ya, menyesal memilih Mas Hans sebagai suami.
“Ibu, tolong jangan membuat Karin terpojok.” Dari sekian kata berontak yang ingin kukatakan, hanya kalimat itu yang keluar dari mulutku. Aku selalu tak sanggup berdebat dengan Ibu.
“Ah, terserah. Kamu hanya perlu bersikap tegas pada suamimu. Itu saja.” Ibu beralih dari kamarku. Kurasa ia pun sangat lelah. Aku tak dapat memungkiri, suamiku seharusnya tidak bersikap seperti ini.
Deru motor terdengar dari luar rumah. Suara motor Mas Hans. Ia melepas sepatu dan meletakkan tas kerjanya, menghampiriku kemudian mencium keningku perlahan. Ia lalu menatap buah hatinya, mengangkatnya dari tempat tidur dan membopongnya dengan penuh kasih sayang.
Mas Hans sebenarnya adalah lelaki penyayang. Dia tak segan membantuku mengurus si kecil, bergantian denganku agar aku bisa sedikit beristrahat. Ia bahkan terampil mengganti popok dan menggendong dengan selendang.
Satu hal yang selalu menyulut perdebatan di antara kami adalah masalah tempat tinggal. Ia enggan tinggal serumah dengan ibu. Selain karena tak suka dengan karakter ibu yang meledak-ledak, nyinyir dan emosional, Mas Hans ingin agar aku tinggal dengan orang tuanya.
“Mas, kenapa gak langsung pulang ke sini sih? Kenapa mesti nunggu malem dulu.” Aku mencoba membuka pembicaraan dengan suamiku. Masalah ini tak bisa dibiarkan terus.
“Kamu gak perlu nanya alasanku apa. Kamu udah tahu. Aku males dengerin orang ngomel. Pulang kerja itu capek,” jawabnya dengan nada datar.
“Ibu gak bakalan ngomel kalau Mas gak pulang kemaleman.” Aku berusaha memberikan penjelasan.
“Kalau aku pulang awal, pasti ada aja yang bikin dia ngomel. Kamu tahu aku gak bisa ngadepin yang begituan. Jadi aku pilih menghindar aja,” ujarnya mempertahankan pendirian.
“Tapi Mas, tolong ngertiin aku. Aku jadi serba salah di hadapan ibu. Aku yang jadi sasaran. Mas introspeksi deh, kalau Mas bisa bersikap baik, ibu gak bakalan kayak gitu.” Suaraku mulai bergetar, emosiku mulai tak terkendali.
“Kalau kamu masih pengen sama-sama aku, yuk kita pindah ke rumah orang tuaku. Kamu apa gak kasihan sih kalau setiap hari aku kecapekan. Jarak ke tempat kerja makin jauh kalo aku tinggal di sini.” Ia mulai mengungkit keinginannya.
“Ibu sendirian Mas, aku nggak tega ninggalin Ibu.” Aku mulai terisak.
“Ada Dina adikmu. Ibu gak sendiri kok.” Ini yang tidak kusuka dari Mas Hans, ia sulit berempati pada seseorang yang tidak disukainya.
“Baik, kamu boleh tinggal di sini. Tapi aku gak tahan. Mulai besok aku tinggal di rumah orang tuaku lagi. Sebulan sekali aku bakalan nengokin anak kita.” Ucapan Mas Hans benar-benar di luar dugaanku. Lyla, putri kami menggeliat. Matanya terbuka dan mulai menangis. Sepertinya ia tahu ayah ibunya sedang bertengkar.
Mas Hans memberikan Lyla padaku sebelum berujar “Silakan kamu putuskan, ikut aku atau ibumu.” Aku terhenyak. Aku tak menyangka ia akan memberikan pilihan yang sangat sulit untukku. Ia mengambil ranselnya dan membuka lemari. Memasukkan beberapa potong pakaian ke dalam tasnya. Aku menggendong Lyla sambil memberinya ASI. Kucoba meraih tas Mas Hans agar ia menghentikan aksinya.
“Apa tidak ada solusi lain yang bisa kita bicarakan Mas? Apa harus seperti ini cara Mas menyelesaikan masalah kita?” Kalimatku mulai tak terdengar dengan jelas. Aku berbicara sambil menangis.
Pintu belakang rumah berderit, seseorang masuk. Ibu. Beliau sepertinya mendengar pertengkaran kami. Ibu menghampiriku, mengambil Lyla dariku.
“Biarin aja kalau suamimu mau pergi. Silakan. Ibu juga masih bisa menghidupi anak dan cucu ibu. Jangan mentang-mentang sudah menafkahi lalu berhak memaksakan kehendak. Toh kamu juga cuma diajak tinggal sama orang tuanya, belum punya rumah sendiri.” Sempurna. Kalimat ibu semakin memperkeruh keadaan. Lyla terus menangis. Aku terduduk di tepi tempat tidur. Badanku limbung.
Mas Hans mendekatiku. Ia menatapku nyalang.
“Kau yang putuskan sekarang. Seorang istri seharusnya patuh pada suaminya. Bukan ibunya. Kalau kamu mau ikut denganku, cepat kemasi barangmu. Kalau tidak, besok jangan harap aku akan pulang ke sini lagi.” Aku menutup wajahku dengan kedua tangan, menenggelamkan tangisku. Aku berharap bisa lari dari semua ini. Lari ke tempat yang sangat jauh, hingga tak ada yang bisa menemukanku. Entah ke mana.
===========
Semalaman aku tidak bisa tidur. Mataku sangat sulit terpejam. Mas Hans tidur di ruang tamu, ibu di kamarnya. Aku yakin mereka juga sama gelisahnya denganku.
 Ingatanku mengembara. Ibu berjuang sendiri membesarkan aku dan adikku Dina. Ayahku pergi meninggalkan kami sejak aku masih kecil. Itulah mengapa bagiku begitu berat meninggalkan ibu. Aku sadar aku harus mematuhi suamiku, namun salahkah jika aku berharap Mas Hans bisa memahami posisiku ini? Inilah yang disesalkan ibu, mengapa aku memilih Mas Hans.
Kepalaku terasa sangat berat. Mataku sembab karena tangisku semalam. Kulihat Mas Hans terpekur di ruang tamu. Ia terlihat sangat letih.
“Mas, sudah jam enam. Cepet siap-siap nanti kesiangan berangkat kerja.” Aku memberanikan diri menyapanya duluan, pertengkaran kami semalam memang melelahkan, tapi aku tak berniat mendiamkannya.
Mas Hans bergeming. Ia seolah tak mendengarku. Aku tahu ia masih kalut karena kejadian semalam. Ia pasti enggan berbicara denganku. Biasanya setelah dua hari ia baru mau membuka pembicaraan.
Pintu kamar ibu terbuka, aku memasukinya. Ibu sedang menyisir rambutnya yang mulai memutih. Menggelungnya perlahan dan mengikatnya dengan karet gelang. Ibu terlihat lebih tua dari usianya. Kehidupan yang keras telah membentuknya menjadi pribadi yang labil, kuat sekaligus rapuh, kata-kata yang keluar darinya sering terdengar menyakitkan, menutup sisi hati yang sebenarnya lembut.
“Bu, mau dibikinin teh?” Ibu tidak mengalihkan pandangannya dari cermin. Aku menepuk bahunya. Ada sesuatu yang janggal. Aku tidak dapat menyentuh ibu. Berulang kali aku memanggilnya, ibu tidak menyahut. Aku berdiri tepat di hadapannya namun ia tidak melihatku! Aku menangis. Apa yang terjadi? Aku berlari menuju ruang tamu. Mas Hans tak lagi di sana. Aku beralih ke kamar, ia sedang melepas baju Lyla, hendak memandikannya. Aku panik. Kuguncang bahunya, tapi sama seperti ibu, ia pun tak tersentuh olehku.
“Mas, Mas Hans, Mas bisa denger aku? Maaaasss!!” jeritanku tak tertahan, aku meraung sejadi-jadinya. Bergantian kupanggil ibu dan Mas Hans. Tak ada yang menyahut. Tak ada yang melihatku. Kucoba mendekati si kecil Lyla. Kubelai dan kuciumi wajahnya, bayi mungil itu tersenyum, namun aku tak bisa menggendongnya.
Aku mengusap air mataku yang berurai. Memandang mereka tanpa bisa berbuat apa-apa. Aku sangat merindukan anakku. Tubuh mungilnya tak dapat kurengkuh dalam pelukanku. Saat ia menangis, aku hanya bisa ikut menangis.
Aku terpuruk di sudut kamar. Rasanya sudah berhari-hari kuhabiskan waktu di sudut kamar. Melihat penghuni rumah ini berlalu lalang tanpa menyadari keberadaanku. Mereka sesekali bercakap saat mengurusi Lyla. Saat kucoba mendekati Dina adikku, hal yang sama pun terjadi. Ia tak dapat melihatku atau mendengar suaraku.
“Saya sudah mencari Karin ke mana mana, Bu. Semua teman dekatnya saya datangi, alamat rumah seluruh saudara yang ibu kasih ke saya juga saya kunjungi. Karin gak ada di sana. Polisi juga belum memberikan kabar apa-apa.” Suamiku mengurut pelipisnya.
Ibu menangis.
“Kamu boleh marah pada kami, Nduk. Tapi tidak dengan cara pergi seperti ini,” ratap ibu kemudian. Aku melihat penyesalan di mata kedua orang yang amat kusayangi. Aku tergugu lagi. Berada di antara pilihan yang sulit memang membuatku ingin lari dari rasa sesak yang menghimpitku. Aku memang ingin pergi jauh. Namun ternyata menghilang dari hadapan mereka bukanlah penyelesaian atas masalah yang terjadi. Menghilang bahkan membuat semuanya semakin rumit.
Aku memejamkan mata, memandang mereka yang tak dapat melihatku hanya membuat dadaku terasa sesak.
“Aku di sini, Mas. Aku tidak ke mana-mana, Bu. Aku tak pernah pergi dari kalian,” ucapku pasrah, tak lagi berharap mereka mendengarku. Lelah yang teramat sangat mendera tubuhku.
“Bu! Ibu! Lihat ini Bu!” teriak Dina dari dalam kamarnya. Ia tergopoh-gopoh menghampiri ibu. Mas Hans turut mendekat. Sesaat kemudian Dina memperlihatkan sebuah foto dalam ponselnya.
SESOSOK MAYAT DITEMUKAN MENGAMBANG DI HILIR SUNGAI
Aku terkesiap melihat foto itu.
 “Ini kan, b-baju yang terakhir dipakai M-mbak Karin, Bu,” ujar Dina terbata-bata. Tangis mereka pun pecah, bersamaan dengan jeritanku yang tak kan pernah lagi terdengar, oleh siapa pun.

Rabu, 01 November 2017

Ciuman Pertama

Laras sedang membenahi riasannya saat seseorang mengetuk pintu kamarnya dari luar.
"Sudah siap kan?" Suara kakaknya meninggi beberapa oktaf agar dapat terdengar dari dalam.
"Sebentar lagiii...!" Sahutnya kemudian.
Ia memandang bayangan dirinya sekali lagi di cermin. Lebih cantik daripada biasanya. Meski beberapa garis kerutan tak dapat disembunyikan oleh riasan yang menutupi kulitnya. Mbak Endah, perias yang mendandaninya tersenyum saat melihat Laras menatap lurus bayangannya tanpa berkedip.
"Kamu tegang?"
Laras hanya mengangguk.

****

Ini adalah hari pernikahannya, empat tahun yang lalu. Ya, sudah empat tahun berlalu sejak saat itu. Sejak dirinya sah dinyatakan sebagai istri seorang Pramono. Empat tahun yang berlalu begitu lambat baginya.

Pram bukanlah seseorang yang asing baginya. Ia adalah kakak kelas Laras semasa SMP. Mereka pun bertetangga. Keluarga keduanya saling mengenal baik satu sama lain. Tapi sebenarnya, mereka tidak pernah dekat sebagai sepasang kekasih. Bahkan sampai hari ini.

Laras menyandarkan kepalanya yang terasa berat. Ia menerawang kembali saat-saat orangtuanya memberikan tawaran padanya untuk menikah dengan Pram.
"Keluarga Pramono ingin melamarmu sebagai menantunya, Nak".
Laras sangat terkejut. Ia hampir tidak percaya.
"Bapak bercanda?"
"Tidak. Ini sungguhan."
Laras tidak yakin ini sungguhan. Ia sudah tigapuluhtiga tahun dan tidak ada seorang pun yang tertarik padanya. Ia terlalu pendiam untuk didekati, wajahnya pun biasa-biasa saja. Gadis lain rata-rata menikah di usia duapuluhan. Dan ia masih sendiri. Maka hal yang dikatakan bapaknya barusan terdengar konyol. Dan Pramono? Dia terlalu sempurna.

"Assalamu'alaikum."
Laras tersadar dari lamunannya.
"Waalaikumsalam." Ia beranjak dari tempat duduknya dan berjalan ke arah pintu lalu membuka kuncinya. Pram masuk tanpa mengatakan apa-apa dan langsung menuju ke kamar. Begitu yang terjadi setiap hari. Laras tidak pernah menyalahkan keadaan. Terkadang ia hanya menyesali mengapa dulu dia tak cukup berani menolak tawaran itu. Tawaran menjadi istri Pramono. Ia sangat sadar tidak mungkin Pram menikahinya karena cinta.

Pramono sudah memiliki kekasih kala itu. Tapi mereka berpisah karena kekasihnya memilih pria lain yang lebih dahulu melamarnya. Pramono memang belum segera meminang kekasihnya karena ingin menyelesaikan studi S2nya terlebih dahulu. Dia tak menyangka bahwa kekasihnya akan meninggalkannya dengan cara seperti itu.
Maka ketika orangtuanya memberikan tawaran untuk menikahi Laras, Pram mengiyakan sekenanya saja.
"Bapak lamarkan Laras untukmu, kamu mau?"
"Terserah Bapak saja."
Dan pernikahan itu pun terjadi. Tanpa cinta.

Laras menyeduh kopi hitam kesukaan Pramono. Ia meletakkannya di samping suaminya berbaring.
"Kopi, Mas."
"Hmm."
Laras membalikkan badan. Ia teringat telepon ibunya tadi pagi.
"Kapan kami menimang cucu, Laras? Kamu menikah sudah empat tahun."
Laras hanya terdiam. Ya, sudah empat tahun. Sudah empat tahun ia mendampingi Pramono. Mendampinginya dengan segala sikap dingin Pram padanya.

Laras menyadari ia tidak cantik. Ia juga tidak pandai mengambil hati. Ia mengerjakan pekerjaan rumah dan melayani keperluan Pramono sebatas sebagai tugas harian seorang istri. Ada kalanya ia juga merindukan kehangatan dalam berumah tangga. Ada kalanya ia ingin disapa penuh manja. Tapi itu tidak pernah terjadi. Maka ketika empat tahun sudah dirasanya begitu menyiksa, ia berfikir untuk mengakhirinya.

Laras duduk di sisi tempat tidur yang lain. Ia menggigit bibir, gelisah. Bingung memilih kalimat yang tepat untuk memulai pembicaraan.
"Mas Pram, aku ingin bicara."
"Ada apa? Kamu rindu ibumu? Mau diantar pulang kesana?"
Laras menggeleng. Biasanya saat merasa galau, memang hanya pulang ke orangtuanya lah hiburan baginya.
"Lalu? Ada apa?" Pramono mengeluarkan laptop dari dalam tas kerjanya dan mulai mengetik. Pandangan matanya tak lepas dari layar laptop. Pandangan mata yang tak pernah menyadari ada luka di hati istrinya.
"Aku ingin bercerai, Mas. Aku sudah tidak bisa mendampingimu yang seperti robot. Aku tahu kau tidak mencintaiku."

Pramono menoleh. Ia menatap wajah istrinya. Menatapnya lebih lama. Ia melihat istrinya menitikkan airmata. Pram tidak pernah menyadari hal itu. Selama ini ia melihat istrinya baik-baik saja. Tak pernah mengeluh, tak pernah marah. Ia menepis perasaan bersalah yang tiba-tiba muncul. Salah sendiri menerima perjodohan ini.
"Besok aku antar kau ke rumah ibumu. Kamu hanya kelelahan."
Laras berdiri. Mengusap airmatanya dan melanjutkan kalimatnya.
"Tidak perlu. Aku bisa pulang sendiri. Tapi tolong ceraikan aku. Aku tidak sanggup lagi menjadi patung disini. Aku juga tidak sanggup lagi serumah dengan robot sepertimu."

Laras memberesi beberapa helai pakaian dalam kopernya. Ia menatap foto pernikahannya yang terpajang di dinding kamar. Tidak ada senyum bahagia di sana. Laras merasa sangat bodoh. Ia memang perawan tua saat dinikahi Pramono. Tapi tidak sepantasnya ia diperlakukan seperti ini. Laras merasa ada yang terasa nyeri, di sudut hatinya.

"Kenapa Pram tidak mengantarmu? Tumben."
"Dia sibuk."
Laras tahu ibunya keheranan. Di depan ibunya Pramono memang baik. Ibunya tak pernah tahu bagaimana dinginnya sikap Pramono padanya.

Pram terbangun saat matanya terasa silau karena sinar matahari yang masuk lewt celah jendela kamarnya. Mata mengerjap. Ia terkejut saat melihat jam menunjukkan pukul tujuh. Gawat. Ia terlambat masuk kantor. Biasanya Laras yang membangunkannya dengan menepuk bahunya lembut. Ia lalu beranjak dan bersiap ke kantor dengan terburu-buru. Tak ada sarapan, tak ada yang menyiapkan pakaian.

"Pagi,  Pak Pram. Tumben datang kesiangan."
Pramono hanya tersenyum. Ia memang selalu datang tepat waktu. Baru kali ini ia terlambat.

Lima hari sudah. Laras pulang ke rumah orangtuanya sejak malam ia mengatakan ingin diceraikan. Sejak itu Pram belum mengambil keputusan apa-apa. Setelah seminggu ia akan menjemput Laras. Setelah itu mungkin semua akan kembali seperti semula, pikirnya.

Pramono menghempaskan tas kerjanya dan membaringkan tubuhnya di atas kursi. Biasanya ada secangkir kopi hitam buatan Laras yang tersaji di sampingnya. Tiba-tiba ia rindu aroma itu. Aroma kopi yang mengepul. Ia berjalan menuju dapur. Menyeduh kopi dan meminumnya perlahan. Kenapa rasanya tidak enak? Ia menambahkan gula dan meminumnya kembali. Tetap tidak enak. Tidak seperti buatan Laras. Ia kemudian menyadari betapa tidak enaknya saat Laras tak ada. Ia kerepotan setiap hari. Sebelumnya jika pulang ke rumah orangtuanya, Laras hanya menginap semalam saja. Ia memejamkan mata. Laras istri yang baik. Semua keperluannya disiapkan tanpa perlu diarahkan. Semua yang dikerjakannya sesuai dengan yang ia inginkan.

Pramono mengetuk pintu rumah mertuanya. Wajah sederhana muncul dari balik pintu. Wajah teduh yang biasa menyambutnya saat pulang kerja setiap hari. Entah mengapa ia baru menyadari bahwa sebenarnya istrinya itu begitu cantik. Laras menyalami dan mencium tangan Pram, seperti yang biasa ia lakukan. Namun ada yang terasa berbeda. Mereka berdua merasa kikuk.

"Eh, Nak Pram." Pramono mencium tangan mertuanya dan mengutarakan niatnya untuk menjemput pulang Laras.
"Kalian baik-baik saja kan? Ibu khawatir, tidak biasanya Laras menginap lama di sini. Dia cuma bilang kamu dinas keluar kota."
Pramono lega. Itu artinya Laras tidak bercerita pada orangtuanya tentang keinginannya bercerai.
"Iya, Bu. Kami baik-baik saja. Laras saya ajak pulang sekarang ya?"
Mereka berpamitan setelah Laras mengambil barang bawaannya. Pram merangkul pundaknya dan menggiring Laras menuju ke mobil.

"Maafin aku, Laras. Aku bodoh membiarkanmu terluka sendirian. Aku membiarkanmu menjalani hari-hari sendiri meski aku ada disampingmu. Aku tidak menyadari bahwa kau begitu perhatian padaku. Begitu menyayangiku."
Laras memandang mata suaminya dalam. Mata yang selalu ingin ditatapnya.

"Aku baru sadar ternyata aku membutuhkanmu. Bukan sekedar mengurus keperluanku. Aku membutuhkanmu untuk mengisi kekosongan disini." Pramono menunjuk dadanya.

Mata Laras berkaca-kaca. Benarkah yang dikatakan suaminya? Ia tidak menjawab apa-apa. Ia hanya pasrah saat Pram meraih tubuhnya dengan mesra, dan mengecupnya dengan lembut, penuh cinta, untuk pertamakalinya.

Selasa, 31 Oktober 2017

Tentang Memaafkan





Aku pernah berada pada titik paling rapuh dalam hidup. Titik di mana aku merasakan penyesalan yang begitu dalam pada pilihan yang telah aku ambil. Saat itu aku hampir menyerah. Tiap hal yang kulakukan seakan salah di mata siapa pun, termasuk diriku sendiri.

Aku terbangun di pagi hari dengan dada yang sesak, pikiran yang tidak tenang, dan selalu dipenuhi pertanyaan kapan masa buruk itu berakhir.

Aku telah menyakiti orang-orang terdekatku, membuat mereka berkubang dalam amarah yang seolah tak kan surut. bahkan aku pun marah pada diri sendiri, menatap wajahku di cermin dengan penuh kebencian, menatap sesosok banyangan orang dungu di sana.

Ya, langkah yang kuambil jauh dari kata tepat. Aku menuruti ego tanpa berpikir jernih. Kecerobohanku telah menyeretku pada jurang penyesalan yang dalam. Aku bergelimang umpatan. telunjuk-telunjuk mereka menunjuk padaku sembari terucap serapah. 

Aku menangisi nasibku. Menangisi kebodohanku. Menangisi bagian hidup yang ingin kubuang. Tapi hidup harus terus berjalan. Aku takut mati jadi tak mungkin kuakhiri hidupku sendiri. Maka tak ada pilihan lain. Aku terus menapakkan jejakku. melanjutkan kisahku walau dengan noda yang tak kan pernah hilang.

Kubuang segala bentuk penyesalan, kubenahi lakuku, agar tak ada lagi luka di hati siapa saja karen ulahku.
Hidupku memang tak sempurna, namun selalu ada kesempatan buatku untuk memperbaikinya.

Hasil gambar untuk forgive quotes



Minggu, 29 Oktober 2017

Sekar Pembayun

Sebuah kisah antara asmara dan amarah
Berakhir pertumpahan darah
Karena kekuasaan dan ambisi yang mengerah
Hingga seorang putri berkorban tanpa keluh kesah

Ki Ageng Mangir pembelot bagi Panembahan Senopati
Enggan tunduk di bawah pimpinan Mataram pertiwi
Tanah agung yang dihuni
Tetap dalam genggaman tak mau dikuasai

Senopati menyusun rencana apik
Agar Mangir tunduk dan tertarik
Menggoda keteguhan pembangkang tengik
Dengan rupa ayu dan senandung merdu Si Cantik

Pembayun menyerahkan sepenuh dirinya
Untuk Mangir yang memuja
Menikahlah mereka berdua
Membangun mahligai rumah tangga

Tibalah waktu yang ditunggu
Menghadiri acara unduh mantu
Mangir menghadap bersama pembuluh rindu
Bertemu mertua mengharap restu

Maka rencana Senopati terlaksana
Sang pembangkang telah hadir tanpa pusaka
Membuatnya begitu leluasa
Melancarkan amarah yang meraja

Maut dijemput saat badan menunduk lesu
Ajian telah dilucuti tanpa ragu
Mautpun merenggut nyawa Mangir dengan kelu
Nyawa melayang pada benturan batu



Rabu, 25 Oktober 2017

I Told You

Source pict https://i0.wp.com/lemon.hu/wp-content/uploads/2016/03/leonidafermov8


Sudah kukatakan padamu
kala itu
saat getir menyelinap pada bait kata kita
bahwa adakalanya tangan yang tak lagi bergandengan
akan membuat bahagia mengangkasa

Kau pura-pura baik-baik saja
padahal aku tahu
gemuruh di hatimu sama riuhnya denganku

Sudah kukatakan padamu
kala itu
bahwa pelangi datang beriringan
setelah hujan bertandang tanpa pesan

Usah kau bantah lagi
Karena akan selalu kukatakan padamu
berulang waktu

Aku mencinta walau tak lagi mendamba

26 Oktober 2017

Senin, 23 Oktober 2017

Kuizinkan


Kuizinkan kau pamit dari lamunanku
agar senyap merebak dan hati mengerti arti sepi

Candamu tak kan ada lagi
bahkan sekadar sapa
Tak akan kuminta

Berlalulah dari hadapanku
Tak mengapa
untuk apa hadirmu jika hanya mengeja luka

 Telah kuizinkan perih itu berlari
Menemukan tempatnya sendiri

Ruang kelas, 24 Oktober 2017

Gurindam

kalau kau hendak selamat  bekali diri dengan salihat jika dirimu sedang seteru ingat lidah setajam sembilu andai amarah mu...